Oleh: Firmansyah, S.Psi., M.MKes
Sepertinya kasus bullying atau perundungan trendnya meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya kasus ini membuat banyak orang tua dan guru yang merasa khawatir. “Kami mengkhawatirkan kasus ini meningkat setiap tahunnya”, ujar salah seorang dari orang tua.
Menurut kebanyakan orang tua munculnya kasus bullying menjadi preseden buruk bagi tumbuhkembang anak remaja. Akan banyak hambatan bagi anak untuk bisa berkembang secara maksimal ketika kasus bulyying sering terjadi.
Disebuah media sosial Whashapp kekhawatiran itu juga disampaikan salah satu orang tua. Ia menyampaikan kerisauannya terkait meningkatnya kasus bullying. “Maraknya kasus bullying membuat kami sering menghkawatirkan anak-anak”, katanya.
Ditambahkannya lagi kami sangat khawatir dengan meningkatnya kasus bullying ini. “Munculnya kasus bullying di sekolah maupun di luar sekolah membuat kami ikut prihatin”, tuturnya.
Bila bullying tidak mampu dicegah tentunya akan berdampak yang tidak baik bagi perkembangan psikis maupun sosial anak. Bullying tidak boleh terjadi sehingga anak bisa tumbuh sebagaimana yang diharapkan.
Dimedia sosial seperti Whashapp, Masengger, Facebook, koran online atau pun media cetak, diskusi terkait bullying juga ikut viral dikemukakan. Viralnya kasus ini membuat banyak orang tua ingin mendapat solusi untuk mencegah bullying agar tidak merebak.
Harapan orang tua ditengah keinginan banyak pihak menghadirkan anak Indonesia yang unggul, tangguh, sehat, cerdas, kreatif dan berkepribadian, bullying tidak boleh diberi ruang untuk hidup. Bullying harus dicegah atau dihentikan.
Bagaimana menyikapi kasus bullying? Dr. Lalu Yulhaidir, S.Psi., M.Psi, salah seorang Psikolog terkemuka Provinsi Nusa Tenggara Barat menyebutkan Indonesia sebagai negara kedua tertinggi kasus bullying. Tujuh puluh delapan persen anak Indonesia pernah dibully.
Dia berpendapat ada sekitar 84 persen anak Indonesia yang mengalami kekerasan. Data tersebut menurutnya lebih tinggi dari trend kekerasan yang terjadi di Asia dengan angka sebesar 70 persen. “Bully menjadi ancaman serius dengan kenaikan kasus signifikan 1 dari 10 anak”, tuturnya menguraikan kasus bullying.
Psikolog Yulhaidir yang juga Ketua Himpunan Psikologi (Himpsi) Wilayah Nusa Tenggara Barat ini lalu merinci kasus bullying. Sepanjang tahun 2018 terdapat 1.926 kasus bullying. 28 persen diantaranya terjadi di sekolah, 42 persen dilakukan guru, 42 persen dilakukan teman dan sisanya dari unsur lain.
“Bullying dilakukan dengan ucapan, sikap tubuh, fisik, media sosial dan seksual dengan agresivitas. Fisik dan psikis dilakuksn dengan cara berulang (intensif) dan terdapat kekuatan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban”, tuturnya.
Lanjutnya menyampaikan dalam siklusnya pelaku bully menyerang korbannya. Korban memandang dirinya sebagai orang lemah dan bystander (menonton atau menyerang).
Psikolog yang kerap menjadi pembicara dibanyak seminar terkait permasalahan sosial psikologis anak remaja dan ketahanan keluarga tersebut kemudian membeberkan ciri-ciri bullying. “Ciri-ciri bullying, selalu hidup berkelompok, menguasai kehidupan sosial di sekolah, menempatkan diri pada tempat tertentu, populer di sekolah dan gerak geriknya dapat ditandai”, ujarnya.
Kemudian dia menjelaskan kemunculan bullying dipicu oleh kondisi lingkungan sosial. “Pendidikan yang rendah, kurangnya aktivitas positif untuk mengisi waktu luang, kesibukan orang tua, dan kurangnya pengawasan, menjadi pemicu munculnya bullying”, jelasnya.
Lemahnya aspek-aspek kepribadian individu, adanya disharmonisasi dan disfungsi keluarga juga menjadi pemicu terjadinya perilaku bullying.
“Dampak yang kemungkinan terjadi dari bullying diantarannya gagal bekerja dan melakukan tindakan kriminal di usia dewasa, kelainan perilaku anak berlanjut menjadi kenakalan remaja, mengalami sulit patuh pada aturan, perilaku khas bully akan terjadi ditempat yang baru, trauma dan gagal berprestasi”, ucapnya.
Diakhir Yulhaidir memberikan trik untuk mencegah bullying. “Bullying bisa dicegah melalui intervensi sistim dengan tidak mereward pelaku bully, memunculkan sistim intervensi sosial, peningkatan skil dan kesadaran guru siswa terkait detail bullying, bangun sensitivitas bully dengan tidak mempopulerkannya dan juga dengan dukungan Program Psikolog Go To School”, tandasnya
Demikian, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua untuk memahami berbagai dinamika perilaku bullying yang kemudian mendorongnya mencegah bullying agar tidak terjadi. (*)
Penulis: Konsultan Psikologi pada Lembaga Konsultasi dan Bimbingan Psikologi “Buah Hati”, juga sebagai Koordinator Sub Bagian Komunikasi Pimpinan Bagian Prokopim Setda Dompu dan aktif sebagai Anggota PPM Kabupaten Dompu.