MENGENAL ISLAM MELALUI DAKWAH VISUAL
Oleh :
Siti Nur Zaahidah
Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kemajuan teknologi membuat pola pembelajaran dan dakwah di dunia Islam berubah secara signifikan. Pendekatan-pendekatan yang konvensional dan monoton tak lagi disukai masyarakat dan mulai ditinggalkan. Salah satu pendekatan penting yang saat ini perlu diadaptasi orang Islam adalah inkorporasi nilai-nilai Islam dalam ruang digital. Alasannya logis, jumlah penduduk Indonesia kini didominasi usia produktif dengan kecenderungan yang amat tinggi terhadap teknologi.
Terdapat sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia, dan sebagian besar di antaranya adalah pengguna aktif media sosial (Tetra Pak Indeks, 2017). Sekitar 54,3% milenial mengaku setiap hari membaca media daring menurut survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pada Agustus 2017. Data ini menjadi bukti betapa penting teknologi digital sebagai ruang dakwah yang masif dan strategis.
Otoritas pemerintah dan doktrin agama tidak lagi memiliki kuasa untuk mengontrol pikiran masyarakat, sebab kaum milenial sudah hidup dengan keadaan melek dan bergelimang teknologi. Mereka dengan mudah dan cepat mengakses informasi melalui ‘search engine’ atau media sosial.
Begitu pun dengan dakwah yang berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Dakwah kini dilakukan di dunia maya. Dakwah tidak lagi dilakukan di atas mimbar, melainkan dengan visual melaui media-media seperti audio visual, majalah digital, Youtube, Twitter, Instagram, Live Streaming bahkan Whatsapp. Terlebih yang kita hadapi saat ini adalah anak-anak muda yang sangat paham dengan internet dan teknologi, juga cara berpikirnya yang lebih kreatif, inovatif, tapi tetap edukatif. Kita dapat memperkaya teknik dakwah dengan memanfaatkan modernitas zaman. Namun, teknologi dan agama acapkali dianggap sebagai dua hal yang tak saling terkait. Bahkan, perkembangan teknologi kadang kala dipandang sebagai penghambat dan penyebab kelalaian beribadah.
Manfaat, peluang, dan tantangan media-media baru dalam gerakan dakwah, mengharuskan pegiat dakwah digital menyusun strategi khusus. Salah satunya adalah literasi digital. Terdapat empat kompetensi inti yang mencirikan cerdas digital menurut perspektif Gilster, yaitu kemampuan pencarian Internet, navigasi hypertext, evaluasi konten, dan penyusunan pengetahuan. Dalam konteks keagamaan, kompetensi ini sangat membantu dalam memilah informasi sehingga terhindar dari kesesatan ideologis.
Saat Internet mulai ramai digunakan, para agamawan maupun institusi keagamaan mulai bergerak untuk meramaikan dunia digital sebagai sarana bedakwah. Pada 2016, beberapa anak muda lulusan pesantren menginisiasi lahirnya Arus Informasi Santri Nusantara (AIS Nusantara). Dengan visi “Digitalisasi Dakwah Pondok Pesantren”. Dalam praktiknya, AIS Nusantara menerjemahkan konten keagamaan dari kitab-kitab klasik Islam menjadi bentuk yang lebih sederhana dengan media yang lebih variatif. Kemudian, disebarluaskan melalui akun-akun pada beragam platform medsos.
AIS Nusantara juga mengajak para pengguna medsos untuk turut berkontribusi secara aktif mengampanyekan nilai-nilai keislaman melalui berbagai cara unik : penggunaan tagar tertentu, kompetisi pembuatan poster, pengunggahan foto serentak pada momen tertentu, dan sebagainya.
Pengguna medsos menuntut inovasi dalam penyajian informasi yang tak lagi melulu tulisan, juga dalam bentuk visual: video, infografis, gambar, dan suara. Ini dimanfaatkan oleh beberapa komunitas keagamaan untuk menyebarkan dakwah melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram atau Telegram. Kita coba telusuri salah satu komunitas bernama Muslim Design Community (MDC) yang bergerak dalam bidang dakwah dengan menggunakan media desain grafis. Mereka melakukan dakwah dengan cara yang kreatif yaitu melalui media visual agar pesan yang disampaikan lebih dapat diterima oleh masyarakat keseluruhan.
Beberapa ustaz terbukti mampu menarik hati masyarakat karena dakwahnya yang sadar digital. Seperti Ustaz Abdul Somad yang memiliki citra dan daya tarik tersendiri bagi kalangan milenial. Ustaz Somad jarang tampil di televisi-televisi nasional seperti dai-dai kondang pada generasi sebelumnya. Kesempatan terekspos media tentu lebih kecil. Faktanya, hampir semua warganet mengenal Ustaz Somad. Jutaan pengguna medsos mengonsumsi ceramahnya. Selain faktor pembawaan yang sederhana dan gaya yang nyentrik, rahasia popularitas Ustaz Abdul Somad adalah pelibatan media digital yang digarap serius untuk berdakwah. Kemudian Ustaz Hanan Attaki yang gaul, sehingga cenderung lebih mudah diterima oleh kalangan muda. Gaya Ustaz Hanan yang kekinian, menjadi strategi jitu memikat kaum milenial. Karena zaman kian kekinian, milenial tak suka kebiasaan monoton. Mereka lebih suka melawan tradisi, anti-establishment. Ustaz Hanan paham betul selera kaum Muslim milenial, karenanya dia berupaya tampil sesuai konteks. Tak heran jika kemudian Ustaz Hanan memiliki jamaah setia yang tidak kalah banyaknya dibandingkan dengan Ustaz Somad, terutama dari kalangan remaja.
Dalam situasi ini, para dai, ulama, dan aktivis dakwah memang dituntut inovatif dan kreatif dalam penyampaian dakwahnya. Dari sisi konten dibutuhkan kemampuan menyuguhkan materi-materi kontemporer dan selaras zaman. Persoalan umat zaman sekarang kian kompleks, mulai dari urusan ibadah hingga politik dan ekonomi. Dibutuhkan seorang pendakwah dengan kemampuan menjawab berbagai persoalan “zaman now”. Mengapa generasi milenial senang menggunakan medsos dalam mencari informasi keagamaan? Sebagian menjawab, lantaran menggunakan media sosial lebih simpel, tidak ribet, dan memberikan jawaban secara cepat sesuai kebutuhan mereka. Dari metode mencari informasi pengetahuan agama ala generasi milenial tersebut, ada beberapa prinsip yang terlihat. Pertama, situasi instan. Kedua, mereka mencari informasi keagamaan berbasis kebutuhan. Ketiga, informasi keagamaan lebih simple. Keempat, belajar agama dengan bahagia.
Agama adalah sebuah pegangan, pedoman, dan peraturan yang mengatur manusia agar tidak terjadi dan melakukan kekacauan. Bagi ulama maupun ustaz zaman now, penting untuk tak hanya bisa berdakwah secara konvensional dari mimbar ke mimbar, dari pengajian ke pengajian, tetapi juga menguasai medsos dan ikut menggunakannya dalam menyampaikan pesan dakwah yang akurat dan mendalam serta mudah dicerna generasi milenial. Melalui film, sinetron, atau program televisi, berapa juta orang bisa berubah dalam beberapa jam saja. Nyatanya, tak semua orang senang baca kitab, senang ke masjid mendengarkan ceramah. Ini merupakan fakta pada era milenial. Dengan menonton tayangan dakwah misalnya, dalam sekejap pesan yang disampaikan terekam dalam memori. Bukan mustahil menjadi jalan baginya untuk berhijrah. Video pendek ustaz/ustazah yang diidolakan, menjadi pilihan yang mengena di hati mereka karena durasi yang singkat yaitu kisaran satu menit. Visual di medsos menggambarkan secara hidup bagaimana pengajian berlangsung. Penggambaran visual ini lebih mudah diterima oleh generasi milenial. Saya yakin, apa yang dilakukan ulama maupun ustaz zaman now tak sekadar faktor pribadi, tapi sebagai upaya adaptasi budaya pop khas era digital. Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib, Sahabat Nabi, “Didiklah anak-anakmu sesuai zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”. Selanjutnya, mampukah kita sebagai pemuda milenial memanfaatkan media visual dalam berdakwah pada masyarakat? (*)